SEJARAH DAN TRADISI SUKU SAHU GARDA
HALMAHERA BARAT, (MALUKU UTARA)
Nama : Siska Wahyu Oktavia
Kelas : 1IA02
NPM : 5A414318
UNIVERSITAS GUNADARMA
ATA 2014/2015
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Kepulauan Indonesia
merupakan suatu kepulauan yang terdapat beragam suku-suku yang berbeda, dengan
adanya keragaman suku di Indonesia banyaknya keunikan dari tiap-tiap masing
daerah yang memiliki ciri khas tersendiri. Serta tersebar budaya dalam kelompok-kelompok yang kecil di
tiap wilayah-wilayah.
Semua keunikan
yang dimiliki oleh suku bangsa Indonesia masyarakat pasti memiliki budaya
tersendiri, budaya merupakan suatu cara hidup yang berkembang dan dimiliki
bersama oleh sebuah kelompok suku dan diwariskan dari generasi ke generasi.
Budaya terbentuk dari banyak unsur termasuk sistem agama, istiadat, bahasa,
perkakas, pakaian, bangunan, dan karya seni. Indonesia juga kaya akan keindahan
alamnya salah satu daerah terkenal memiliki suku asli daerahnya adalah Suku
Sahu Garda yang memiliki beragam kebudayaan dan adat istiadat yang dianut sejak
zaman dahulu.
Suku Sahu Garda
merupakan salah satu suku yang berada di kepulauan Indonesia, dimana suku Sahu
masyarakatnya masih sangat aktif dalam melakukan ritual adat. Dalam kehidupan
sehari-hari suku Sahu saling membutuhkan satu sama lain.
B. Tujuan
Penulisan
Tujuan dari
pembuatan makalah ini yaitu sabagai salah satu untuk memperkenalkan suku yang
terdapat di kepulauan Indonesia, serta tugas mata kuliah Ilmu Budaya Dasar
dengan membahas Suku Sahu Garda. Dalam pembuatan makalah ini membahas adanya
suku yang masih kental dengan kebudayaan dan ritual adat yang masih dijalankan
hingga sekarang.
BAB II
SEJARAH / ASAL USUL
A.
Sejarah
Suku Sahu
Suku Sahu merupakan salah satu
suku yang mendiami dua wilayah yaitu kecamatan suku Sahu Barat dan Sahu timur,
namun adat isitadat tetap terjaga dan menjadi satu kesatuan hal ini dapat
dilihat dari adanya sasadu yaitu rumah adat suku sahu di setiap desa-desa ini
menandakan bahawa desa tersebut didiami oleh masyarakat yang berasal dari suku
Sahu, dan masyrakatnya suku Sahu masih sangat aktif dalam melakukan ritual
adatnya. Nama Sahu diberikan oleh Sultan Ternate, dimana pergantian nama ini
bermula ketika Sangaji (utusan suku sahu) dipanggil menghadap Sultan Ternate.
Pada waktu sangaji bertemu dengan sultan, saat sedang makan sahur makanan
beliau pun berkata dalam bahasa Ternate “Hara kane si jou sahur,jadi kane suku
ngana si golo ngana jiko sahu” yang artinya “karena kau sangaji datang pada
waktu sultan sedang makan sahur, maka kemudian hari ini kau akan mendirikan
daerahmu dan namailah Sahu pada mulanya suku Sahu bernama Jio Jepung Malamo.
Pada zaman kesultanan Ternate, sesudah Baab
Mansyur Malamo, suku Sahu dipimpin oleh seorang yaitu Walasae. Dibawah pimpinan
Walasae terdapat pangilama yang disebut Kapita/Momole, dan disusul oleh
Walangotom (prajurit). Setelah itu ada Jou Ma bela yaitu kaum masyarakat yang
bertugas untuk membawa upeti kepada sultan Ternate, setelah Jou ma bela ada
Guru yang ditugaskan dalam hal keagamaan dan didampingi oleh khalifa dan yang
terakhir adalah Ngofa Repe sebutan untuk masyrakat kampung. Seiring
perkembangan zaman sekarang desa fomanyira (pimpinan desa) yang memiliki
kedudukan tertinggi yang betugas mengatur kehidupan dan kesejahteraan
masyarakat.
Dalam
kehidupan suku Sahu memahami bahwa manusia saling membutuhkan satu sama lain.
Hal inilah yang membentuk masyrakat untuk menciptakan kegiatan gotong royong
terwarisi oleh nenek moyang hingga sekarang.
B. Filosofi
Kehidupan Suku Sahu
Kehidupan sosial suku Sahu sejak
dahulu kala sudah memahami bahwa manusia tidak dapat hidup tanpa manusia lain,
masyarakat suku Sahu membentuk kelompok kerja baik untuk keperluan kerajaan
Ternate maupun kegiatan kemasyarakatan untuk mencapa tujuan tertentu, seperti
halnya gotong royong biasanya ada hubungan kerja sama sebagai tanggung jawab.
Misalnya kerjasama dalam mempersiapkan upacara perkawinan anggota keluarga
lainnya. Ada pula dalam lingkungan masyarakat dibentuk kelompok kerja yang
disebut rion-rion kelompok ini biasanya memiliki tujuan yang sama misalnya
berkebun, hasil pertanian, dan membangun rumah para anggota kelompok tersebut.
Masyarakat suku Sahu memiliki berbagai macam budaya suku, seperti adat istiadat
dalam melaksanakan upacara pemakaman, serta budaya sasadu yaitu upacara pada
rumah adat. Seni dan budaya adat istiadat suku yang tumbuh sangat terpelihara
oleh masing-masing suku di Kabupaten Halmahera.
BAB III
TRADISI SUKU
A. Upacara Adat
Desa Gamtala dihuni oleh
masyrakat suku Sahu, suku yang memiliki keahlian berladang dan bertani. Desa
Gamtala dihuni oleh masyarakat adat suku Sahu, setiap dua kali dalam setahun
suku Sahu mengadakan ritual syukuran atas panen padi. Pesta panen ini dikenal
dengan sebutan Horom Toma Sasadu.
Horom Toma Sasadu memiliki
makna arti horom ialah makan, toma yang artinya di, dan sasadu memiliki arti
rumah adat. Sasadu merupakan rumah adat suku Sahu. Pada saat Horom Toma Sasadu,
masyarakat Sahu akan makan dan minum dan menari sebagai perwujudan sukur panen
padi, dahulu Horom Toma Sasadu berlangsung selama sembilan hari, sembilan malam
tanpa berhenti, tetapi pada saat ini berlangsung selama sehari satu malam.
Pengurangan pesta panen padi ini karena sebagian masyrakat suku Sahu mempunyai
perkejaan lain yaitu berladang.
Gambar 3.1 Pesta
Makan Adat Horom Sasadu
B. Mata
Pencaharian
Mata pencaharian masyrakat suku
Sahu pada umumnya bertani. Hasil dari bertani untuk memenuhi kebutuhan sendiri
apabila terdapat kelebihan hasil bertani dijual untuk mendapatkan uang. Dalam
bertani dibutuhkan tenaga oleh karena itu dilakukan dengan menjalankan gotong
royong sesuai dengan adat suku Sahu yang satu sama lainnya saling membantu. Masyrakat
Sahu juga melakukan pekerjaan berkebun dngan menanami pohon buahan, jenis
sayuran, dan tanaman sejenis bumbu rempah. Hasil tersebut mendatangkan
penghasilan bagi penduduk dan bahkan bisa membiayai anak-anak mereka yang
bersekolah, dari hasil pertanian tersebut dijual ke daerah-daerah perkotaan.
Selain itu juga suku Sahu memiliki hasil hutan yang bisa memberikan mata
pencaharian dengan adanya pohon sagu untuk dibuat menjadi tepung sagu. Sagu
juga merupakan makanan ciri khas masyarakat suku Sahu.
C. Tarian
Tradisional
Legu Salai merupakan sebuah
tarian tradisonal suku Sahu yang sudah berusia sangat tua sebelum suku Sahu
memiliki rumah adat sasadu. Tarian ini, tarian yang dugunakan pada saat
menyambut tamu-tamu khusus kesultanan atau pada saat merayakan pesta syukuran panen raya. Tarian
Legu Salai melambangkan kelompok pembersih jalan dimana para putri akan lewat
dalah bahasa suku Sahu disebut juga dengan Ji’o Sahu Tala’1 Re Pad’1 Sua yang
artinya merupakan rumpun Sahu, terdiri dari tiga kelompok kerja dari suku Pad’1
Sua Tala’1 4 kelompok kerja dan suku Tala’1 jumlahnya tujuh kelompok kerja.
Tarian Legu Salai biasanya ditarikan dengan jumlah kelompok penari lelaki sebanyak
tiga atau empat orang bahkan sampai tujuh orang yang melambangkan jumlah
kelompok kerja.
Penari lelaki menggunakan
properti payung yang berarti pelindung, semangat etos kerja yang tinggi
terhadap kaum perempuan. Tarian Salai atau perempuan adalah simbol dari luapan
kegembiraan karena sang puteri menerima pakaian dari Sri Sultan sehingga
merekapun menari, jumlah penari Salai terdiri dari 4 puteri melambangkan 4
kesultanan di bumi Maluku, Yaitu Kesultanan Jailolo, Kesultanan Ternate,
Kesultanan Tidore, dan Kesultanan Bacan.
Gambar
3.2 Tarian Adat Suku Sahu
D. Nilai-Nilai yang
dapat di ambil dari Tradisi Suku Sahu
Pada setiap suku
pasti memiliki unsur nilai-nilai yang terkandung dalam tradisi atau kebiasaan
yang di lakukan dari suku tersebut. Contohnya suku Sahu, memiliki beragam
tradisi yang lahir sejak dahulu yang kini masih dilestarikan. Tarian Legu Salai,
tarian ini merupakan salah satu tarian tradisi suku sahu yang di tarikan pada
saat pesta syukuran panen. Pada tarian ini terkandung nilai yang berhubungan
dengan menyatukan kekompakan pada setiap penarinya, biasanya tarian ini di
lakukan dengan jumlah penari kelompok yang melambangkan jumlah dari kelompok
kerja. Tarian Legu Salai berhubungan juga dengan kegembiraan, dan semangat etos
kerja yang tinggi terhadap kaum perempuan.
BAB IV
KESIMPULAN
Dapat
disumpulkan, bahwa setiap daerah memiliki keragaman budaya yang menjadi ciri
khas keunikan daerah tersebut. Adanya suku-suku di Indonesia menjadi bangsa
yang masih melestarikan kebudayaan yang sudah ada terlebih dahulu, dan dengan
adanya isitadat yang cukup kental dengan tradisi kebiasaan dalam kehidupan
suku. Salah satu suku tersebut seperti halnya suku Sahu istiadat yang masih aktif
menjalankan ritual adat hingga sekarang. Serta suku yang sangat berkerjasama
dalam membangun suatu tujuan yang sama contohnya dalam hal berkebun, membangun
rumah adat yang dilakukan secara bergotong royong, dan upacara adat yang berada
dalam suku tersebut.
DAFTAR PUSTAKA
25/06/2015
- 19.25 WIB
25/06/2015
- 19.32 WIB
25/06/2015
- 19.40 WIB
26/06/2015
- 11.30 WIB
26/06/2015
- 11.44 WIB
26/06/2015
- 22.00 WIB
26/06/2015
– 22.16 WIB