Kamis, 18 Juni 2015

SEJARAH DAN TRADISI SUKU SAHU GARDA HALMAHERA BARAT, (MALUKU UTARA)

SEJARAH DAN TRADISI SUKU SAHU GARDA
HALMAHERA BARAT, (MALUKU UTARA)









Nama               : Siska Wahyu Oktavia
Kelas                : 1IA02
NPM                : 5A414318




UNIVERSITAS GUNADARMA
ATA 2014/2015



BAB I    
PENDAHULUAN


A.              Latar Belakang
Kepulauan Indonesia merupakan suatu kepulauan yang terdapat beragam suku-suku yang berbeda, dengan adanya keragaman suku di Indonesia banyaknya keunikan dari tiap-tiap masing daerah yang memiliki ciri khas tersendiri. Serta tersebar  budaya dalam kelompok-kelompok yang kecil di tiap wilayah-wilayah.
Semua keunikan yang dimiliki oleh suku bangsa Indonesia masyarakat pasti memiliki budaya tersendiri, budaya merupakan suatu cara hidup yang berkembang dan dimiliki bersama oleh sebuah kelompok suku dan diwariskan dari generasi ke generasi. Budaya terbentuk dari banyak unsur termasuk sistem agama, istiadat, bahasa, perkakas, pakaian, bangunan, dan karya seni. Indonesia juga kaya akan keindahan alamnya salah satu daerah terkenal memiliki suku asli daerahnya adalah Suku Sahu Garda yang memiliki beragam kebudayaan dan adat istiadat yang dianut sejak zaman dahulu.
Suku Sahu Garda merupakan salah satu suku yang berada di kepulauan Indonesia, dimana suku Sahu masyarakatnya masih sangat aktif dalam melakukan ritual adat. Dalam kehidupan sehari-hari suku Sahu saling membutuhkan satu sama lain.
B.              Tujuan Penulisan
Tujuan dari pembuatan makalah ini yaitu sabagai salah satu untuk memperkenalkan suku yang terdapat di kepulauan Indonesia, serta tugas mata kuliah Ilmu Budaya Dasar dengan membahas Suku Sahu Garda. Dalam pembuatan makalah ini membahas adanya suku yang masih kental dengan kebudayaan dan ritual adat yang masih dijalankan hingga sekarang.


BAB II
SEJARAH / ASAL USUL


A.             Sejarah Suku Sahu
               Suku Sahu merupakan salah satu suku yang mendiami dua wilayah yaitu kecamatan suku Sahu Barat dan Sahu timur, namun adat isitadat tetap terjaga dan menjadi satu kesatuan hal ini dapat dilihat dari adanya sasadu yaitu rumah adat suku sahu di setiap desa-desa ini menandakan bahawa desa tersebut didiami oleh masyarakat yang berasal dari suku Sahu, dan masyrakatnya suku Sahu masih sangat aktif dalam melakukan ritual adatnya. Nama Sahu diberikan oleh Sultan Ternate, dimana pergantian nama ini bermula ketika Sangaji (utusan suku sahu) dipanggil menghadap Sultan Ternate. Pada waktu sangaji bertemu dengan sultan, saat sedang makan sahur makanan beliau pun berkata dalam bahasa Ternate “Hara kane si jou sahur,jadi kane suku ngana si golo ngana jiko sahu” yang artinya “karena kau sangaji datang pada waktu sultan sedang makan sahur, maka kemudian hari ini kau akan mendirikan daerahmu dan namailah Sahu pada mulanya suku Sahu bernama Jio Jepung Malamo.
                    Pada zaman kesultanan Ternate, sesudah Baab Mansyur Malamo, suku Sahu dipimpin oleh seorang yaitu Walasae. Dibawah pimpinan Walasae terdapat pangilama yang disebut Kapita/Momole, dan disusul oleh Walangotom (prajurit). Setelah itu ada Jou Ma bela yaitu kaum masyarakat yang bertugas untuk membawa upeti kepada sultan Ternate, setelah Jou ma bela ada Guru yang ditugaskan dalam hal keagamaan dan didampingi oleh khalifa dan yang terakhir adalah Ngofa Repe sebutan untuk masyrakat kampung. Seiring perkembangan zaman sekarang desa fomanyira (pimpinan desa) yang memiliki kedudukan tertinggi yang betugas mengatur kehidupan dan kesejahteraan masyarakat.
Dalam kehidupan suku Sahu memahami bahwa manusia saling membutuhkan satu sama lain. Hal inilah yang membentuk masyrakat untuk menciptakan kegiatan gotong royong terwarisi oleh nenek moyang hingga sekarang.
B.              Filosofi Kehidupan Suku Sahu
               Kehidupan sosial suku Sahu sejak dahulu kala sudah memahami bahwa manusia tidak dapat hidup tanpa manusia lain, masyarakat suku Sahu membentuk kelompok kerja baik untuk keperluan kerajaan Ternate maupun kegiatan kemasyarakatan untuk mencapa tujuan tertentu, seperti halnya gotong royong biasanya ada hubungan kerja sama sebagai tanggung jawab. Misalnya kerjasama dalam mempersiapkan upacara perkawinan anggota keluarga lainnya. Ada pula dalam lingkungan masyarakat dibentuk kelompok kerja yang disebut rion-rion kelompok ini biasanya memiliki tujuan yang sama misalnya berkebun, hasil pertanian, dan membangun rumah para anggota kelompok tersebut. Masyarakat suku Sahu memiliki berbagai macam budaya suku, seperti adat istiadat dalam melaksanakan upacara pemakaman, serta budaya sasadu yaitu upacara pada rumah adat. Seni dan budaya adat istiadat suku yang tumbuh sangat terpelihara oleh masing-masing suku di Kabupaten Halmahera.


BAB III
TRADISI SUKU

              
A.              Upacara Adat
               Desa Gamtala dihuni oleh masyrakat suku Sahu, suku yang memiliki keahlian berladang dan bertani. Desa Gamtala dihuni oleh masyarakat adat suku Sahu, setiap dua kali dalam setahun suku Sahu mengadakan ritual syukuran atas panen padi. Pesta panen ini dikenal dengan sebutan Horom Toma Sasadu.
                   Horom Toma Sasadu memiliki makna arti horom ialah makan, toma yang artinya di, dan sasadu memiliki arti rumah adat. Sasadu merupakan rumah adat suku Sahu. Pada saat Horom Toma Sasadu, masyarakat Sahu akan makan dan minum dan menari sebagai perwujudan sukur panen padi, dahulu Horom Toma Sasadu berlangsung selama sembilan hari, sembilan malam tanpa berhenti, tetapi pada saat ini berlangsung selama sehari satu malam. Pengurangan pesta panen padi ini karena sebagian masyrakat suku Sahu mempunyai perkejaan lain yaitu berladang.

Gambar 3.1 Pesta Makan Adat Horom Sasadu

B.              Mata Pencaharian
               Mata pencaharian masyrakat suku Sahu pada umumnya bertani. Hasil dari bertani untuk memenuhi kebutuhan sendiri apabila terdapat kelebihan hasil bertani dijual untuk mendapatkan uang. Dalam bertani dibutuhkan tenaga oleh karena itu dilakukan dengan menjalankan gotong royong sesuai dengan adat suku Sahu yang satu sama lainnya saling membantu. Masyrakat Sahu juga melakukan pekerjaan berkebun dngan menanami pohon buahan, jenis sayuran, dan tanaman sejenis bumbu rempah. Hasil tersebut mendatangkan penghasilan bagi penduduk dan bahkan bisa membiayai anak-anak mereka yang bersekolah, dari hasil pertanian tersebut dijual ke daerah-daerah perkotaan. Selain itu juga suku Sahu memiliki hasil hutan yang bisa memberikan mata pencaharian dengan adanya pohon sagu untuk dibuat menjadi tepung sagu. Sagu juga merupakan makanan ciri khas masyarakat suku Sahu.
C.              Tarian Tradisional
               Legu Salai merupakan sebuah tarian tradisonal suku Sahu yang sudah berusia sangat tua sebelum suku Sahu memiliki rumah adat sasadu. Tarian ini, tarian yang dugunakan pada saat menyambut tamu-tamu khusus kesultanan atau pada saat  merayakan pesta syukuran panen raya. Tarian Legu Salai melambangkan kelompok pembersih jalan dimana para putri akan lewat dalah bahasa suku Sahu disebut juga dengan Ji’o Sahu Tala’1 Re Pad’1 Sua yang artinya merupakan rumpun Sahu, terdiri dari tiga kelompok kerja dari suku Pad’1 Sua Tala’1 4 kelompok kerja dan suku Tala’1 jumlahnya tujuh kelompok kerja. Tarian Legu Salai biasanya ditarikan dengan jumlah kelompok penari lelaki sebanyak tiga atau empat orang bahkan sampai tujuh orang yang melambangkan jumlah kelompok kerja.
                   Penari lelaki menggunakan properti payung yang berarti pelindung, semangat etos kerja yang tinggi terhadap kaum perempuan. Tarian Salai atau perempuan adalah simbol dari luapan kegembiraan karena sang puteri menerima pakaian dari Sri Sultan sehingga merekapun menari, jumlah penari Salai terdiri dari 4 puteri melambangkan 4 kesultanan di bumi Maluku, Yaitu Kesultanan Jailolo, Kesultanan Ternate, Kesultanan Tidore, dan Kesultanan Bacan.

Gambar 3.2 Tarian Adat Suku Sahu

D.              Nilai-Nilai yang dapat di ambil dari Tradisi Suku Sahu
Pada setiap suku pasti memiliki unsur nilai-nilai yang terkandung dalam tradisi atau kebiasaan yang di lakukan dari suku tersebut. Contohnya suku Sahu, memiliki beragam tradisi yang lahir sejak dahulu yang kini masih dilestarikan. Tarian Legu Salai, tarian ini merupakan salah satu tarian tradisi suku sahu yang di tarikan pada saat pesta syukuran panen. Pada tarian ini terkandung nilai yang berhubungan dengan menyatukan kekompakan pada setiap penarinya, biasanya tarian ini di lakukan dengan jumlah penari kelompok yang melambangkan jumlah dari kelompok kerja. Tarian Legu Salai berhubungan juga dengan kegembiraan, dan semangat etos kerja yang tinggi terhadap kaum perempuan.


BAB IV
KESIMPULAN

Dapat disumpulkan, bahwa setiap daerah memiliki keragaman budaya yang menjadi ciri khas keunikan daerah tersebut. Adanya suku-suku di Indonesia menjadi bangsa yang masih melestarikan kebudayaan yang sudah ada terlebih dahulu, dan dengan adanya isitadat yang cukup kental dengan tradisi kebiasaan dalam kehidupan suku. Salah satu suku tersebut seperti halnya suku Sahu istiadat yang masih aktif menjalankan ritual adat hingga sekarang. Serta suku yang sangat berkerjasama dalam membangun suatu tujuan yang sama contohnya dalam hal berkebun, membangun rumah adat yang dilakukan secara bergotong royong, dan upacara adat yang berada dalam suku tersebut.




DAFTAR PUSTAKA
                                                                                                
25/06/2015 - 19.25 WIB

25/06/2015 - 19.32  WIB

25/06/2015 - 19.40 WIB

26/06/2015 - 11.30 WIB

26/06/2015 - 11.44 WIB

26/06/2015 - 22.00 WIB

26/06/2015 – 22.16 WIB

Tidak ada komentar:

Posting Komentar